I. PENDAHULUAN
Saat
ini pemanfaatan teknologi informasi merupakan bagian penting dari hampir
seluruh aktivitas masyarakat. Bahkan di dunia perbankan hampir seluruh proses
penyelenggaraan sistem pembayaran telah dilaksanakan secara elektronik.
Perkembangan
teknologi informasi telah memaksa pelaku usaha mengubah strategi bisnisnya
dengan menempatkan teknologi sebagai unsur utama dalam proses inovasi produk
dan jasa. Pelayanan electronic transaction (e-banking) melalui ATM, phone
banking dan Internet banking misalnya, merupakan bentuk-bentuk baru dari
delivery channel pelayanan bank yang mengubah pelayanan transaksi manual
menjadi pelayanan transaksi oleh teknologi.
Bagi
perekonomian, kemajuan teknologi memberikan manfaat yang sangat besar, karena
transaksi bisnis dapat dilakukan secara seketika (real time), yang berarti
perputaran ekonomi menjadi semakin cepat dan dapat dilakukan tanpa hambatan
ruang dan waktu. Begitu juga dari sisi keamanan, penggunaan teknologi,
memberikan perlindungan terhadap keamanan data dan transaksi.
Namun
demikian, di sisi lain, perkembangan teknologi yang begitu cepat tidak dapat dipungkiri
telah menimbulkan efek negatif, yaitu berkembangnya kejahatan yang lebih
canggih yang dikenal sebagai Cybercrime, bahkan lebih jauh lagi adalah
dimanfaatkannya kecanggihan teknologi informasi dan komputer oleh pelaku
kejahatan untuk tujuan pencucian uang dan kejahatan terorisme.
Berdasarkan
hal tersebut maka beberapa negara membuat suatu regulasi dalam mengatur sistem
teknologi informasi yang berdasarkan pada internet. Cyberlaw adalah aspek hukum
yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang ruang lingkupnya meliputi
setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang
menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai "online" dan memasuki dunia cyber atau maya.
II. LANDASAN TEORI
Cyber
Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang ruang lingkupnya
meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek
hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet/elektronik yang
dimulai pada saat mulai "online" dan memasuki dunia cyber atau maya.
Pada negara yang telah maju dalam penggunaan internet/elektronik sebagai alat
untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju.
Ruang Lingkup Cyber Law
Berikut ini adalah ruang lingkup atau area
yang harus dicover oleh cyberlaw. Ruang lingkup cyberlaw ini akan terus
berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi pada pemanfaatan Internet dikemudian
hari.
1. Electronic Commerce
Pada awalnya electronic commerce (E-Commerce) bergerak dalam bidang retail seperti perdagangan CD atau buku lewat situs dalam World Wide Web (www). Tapi saat ini Ecommerce sudah melangkah jauh menjangkau aktivitas-aktivitas di bidang perbankan dan jasa asuransi yang meliputi antara lain ”account inquiries”, ”1oan transaction”, dan sebagainya. Sampai saat ini belum ada pengertian yang tunggal mengenai E-Commerce.
Hal ini disebabkan karena hampir setiap saat muncul bentuk- bentuk baru dari Ecommerce dan tampaknya E-Commerce ini merupakan salah satu aktivitas cyberspace yang berkembang sangat pesat dan agresif. Sebagai pegangan (sementara) kita lihatdefinisi E-Commerce dari ECEG-Australia (Electronic Cornmerce Expert Group) sebagai berikut: “Electronic commerce is a broad concept that covers any commercial transaction that is effected via electronic means and would include such means as facsimile, telex, EDI, Internet and the telephone”.
Secara singkat E-Commerce dapat dipahami sebagai transaksi perdagangan baik barang maupun jasa lewat media elektronik. Dalam operasionalnya E-Commerce ini dapat berbentuk B to B (Business to Business) atau B to C (Business to Consumers). Khusus untuk yang terakhir (B to C), karena pada umumnya posisi konsumen tidak sekuat perusahaan dan dapat menimbulkan beberapa persoalan yang menyebabkan para konsumen agak hati-hati dalam melakukan transaksi lewat Internet.
Persoalan tersebut antara lain menyangkut masalah mekanisme pembayaran (payment mechanism) dan jaminan keamanan dalam bertransaksi (security risk). Mekanisme pembayaran dalam Ecommerce dapat dilakukan dengan cepat oleh konsumen dengan menggunakan ”electronic payment”. Pada umumnya mekanisme pembayaran dalam E-Commerce menggunakan credit card. Karena sifat dari operasi Internet itu sendiri, ada masalah apabila data credit card itu dikirimkan lewat server yang kurang terjamin keamanannya. Selain itu, credit card tidak ”acceptable” untuk semua jenis transaksi. Juga ada masalah apabila melibatkan harga dalam bentuk mata uang asing.
Persoalan jaminan keamanan dalam E-Commerce pada umumnya menyangkut transfer informasi seperti informasi mengenai data-data credit card dan data-data individual konsumen. Dalam area ini ada dua masalah utama yang harus diantisipasi yaitu (1) ”identification integrity” yang menyangkut identitas si pengirim yang dikuatkan lewat ”digital signature”, dan (2) adalah ”message integrity” yang menyangkut apakah pesan yang dikirimkan oleh si pengirim itu benar-benar diterima oleh si penerima yang dikehendaki (intended recipient). Dalam kaitan ini pula para konsumen memiliki kekhawatiran adanya ”identity theft”’atau ”misuse of information” dari data-data yang diberikan pihak-pihak konsumen kepada perusahaan.
2. Domain Name
Domain name dalam Internet secara sederhana dapat diumpamakan seperti nomor telepon atau sebuah alamat. Contoh, domain name untuk Monash University Law School, Australia adalah ”law.monash.edu.au”. Domain name dibaca dari kanan ke kiri yang menunjukkan tingkat spesifikasinya, dari yang paling umum ke yang paling khusus. Untuk contoh di atas, ”au” menunjuk kepada Australia sebagai geographical region, sedangkan ”edu” artinya pendidikan (education) sebagai Top-level Domain name (TLD) yang menjelaskan mengenai tujuan dari institusi tersebut. Elemen seIanjutnya adalah ”monash” yang merupakan ”the Second-Level Domain name” (SLD) yang dipilih oleh pendaftar domain name, sedangkan elemen yang terakhir ”law” adalah ”subdomain” dari monash Gabungan antara SLD dan TLD dengan berbagai pilihan sub domain disebut ”domain name”.
Topik - topik Cyber Law
Secara garis besar terdapat 5 topik dari cyberlaw disetiap negara yaitu :
1. Information security, menyangkut masalah keontentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet, dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
2. On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.
3. Right in electronic information, soal hak cipa dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.
4. Regulation Information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet.
5. Regulation on-line contact, tatakramah dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.
Kompenen - komponen Cyberlaw
1. Berisi tentang yuridiksi hukum dan aspek-aspek terkait, komponen ini menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan diterapkan di dalam dunia maya itu.
2. Tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggung jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tanggung jawab dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa internet (internet provider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa pendidikan melalui jaringan internet.
3. Aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentang patent, merek dagan rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia cyber.
4. Aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku di masing-masing yuridiksi negara asal dari pihak yang mepergunakan atau memanfaatkan dunia maya dari sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan.
5. Aspek jaminan keamanan dari setiap pengguna internet.
6. Ketentuan hukum yang memformulasikan aspek kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat dihitung sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan atau akutansi.
Asas Hukum Untuk Dunia Cyber
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace, pertama adalah pendekatan teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga pendekatan hukum. Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologisifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat mudah disusupi, dintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak.
Dalam ruang cyber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
Peraturan dan Regulasi Cyberlaw Berbagai Negara
Pertama, membuat berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang sifatnya sangat spesifik yang merujuk pada pola pembagian hukum secara konservatif, misalnya regulasi yang mengatur hanya aspek-aspek perdata saja seperti transaksi elektronik, masalah pembuktian perdata, tanda tangan elektronik, pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti, ganti rugi perdata, dll., disamping itu juga dibuat regulasi secara spesifik yang secara terpisah mengatur tindak pidana teknologi informasi (cybercrime) dalam undang-undang tersendiri.
Kedua, model regulasi komprehensif yang materi muatannya mencakup tidak hanya aspek perdata, tetapi juga aspek administrasi dan pidana, terkait dengan dilanggarnya ketentuan yang menyangkut penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Pada negara yang telah maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari perkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan negara yang telah memiliki banyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.
1. Cyber Law di Amerika
Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA diadopsi oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL) pada tahun 1999.
Secara lengkap Cyber Law di Amerika adalah sebagai berikut :
- Electronic Signatures in Global and National Commerce Act.
- Uniform Electronic Transaction Act
- Uniform Computer Information Transaction Act
- Government Paperwork Elimination Act
- Electronic Communication Privacy Act
- Privacy Protection Act
- Fair Credit Reporting Act
- Right to Financial Privacy Act
- Computer Fraud and Abuse Act
Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA adalah salah satu dari beberapa Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat yang diusulkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL). Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau Virgin US telah mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan menyeluruhnya adalah untuk membawa ke jalur hukum negara bagian yag berbeda atas bidang-bidang seperti retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai media perjanjian yang layak. UETA 1999 membahas diantaranya mengenai :
Pasal 5 : mengatur penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik
Pasal 7: memberikan pengakuan legal untuk dokumen elektronik, tanda tangan elektronik, dan kontrak elektronik.
Pasal 8 : mengatur informasi dan dokumen yang disajikan untuk semua pihak.
Pasal 9 : membahas atribusi dan pengaruh dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik.
Pasal 10 : menentukan kondisi-kondisi jika perubahan atau kesalahan dalam dokumen elektronik terjadi dalam transmisi data antara pihak yang bertransaksi.
Pasal 11 : memungkinkan notaris publik dan pejabat lainnya yang berwenang untuk bertindak secara elektronik, secara efektif menghilangkan persyaratan cap/segel.
Pasal 12 : menyatakan bahwa kebutuhan “retensi dokumen” dipenuhi dengan mempertahankan dokumen elektronik.
Pasal 13 : “Dalam penindakan, bukti dari dokumen atau tanda tangan tidak dapat dikecualikan hanya karena dalam bentuk elektronik”
Pasal 14 : mengatur mengenai transaksi otomatis.
Pasal 15 : mendefinisikan waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan dokumen elektronik.
Pasal 16 : mengatur mengenai dokumen yang dipindahtangankan.
2. Cyber Law Singapore
Cyber Law di Singapore, antara lain:
- Electronic Transaction Act
- IPR Act
- Computer Misuse Act
- Broadcasting Authority Act
- Public Entertainment Act
- Banking Act
- Internet Code of Practice
- Evidence Act (Amendment)
- Unfair Contract Terms Act
The Electronic Transactions Act (ETA) 1998
ETA sebagai pengatur otoritas sertifikasi. Singapore mempunyai misi untuk menjadi poros / pusat kegiatan perdagangan elektronik internasional, di mana transaksi perdagangan yang elektronik dari daerah dan di seluruh bumi diproses.
Tujuan dibuatnya ETA :
1. Memudahkan komunikasi elektronik atas pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya.
2. Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu menghapuskan penghalang perdagangan elektronik yang tidak sah atas penulisan dan persyaratan tandatangan, dan untuk mempromosikan pengembangan dari undang-undang dan infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin / mengamankan perdagangan elektronik.
3. Memudahkan penyimpanan secara elektronik tentang dokumen pemerintah dan perusahaan menurut undang-undang, dan untuk mempromosikan penyerahan yang efisien pada kantor pemerintah atas bantuan arsip elektronik yang dapat dipercaya.
4. Mempromosikan kepercayaan, integritas dan keandalan dari arsip elektronik dan perdagangan elektronik, dan untuk membantu perkembangan dan pengembangan dari perdagangan elektronik melalui penggunaan tandatangan yang elektronik untuk menjamin keaslian dan integritas surat menyurat yang menggunakan media elektronik.
3. Cyber Law di Malaysia
Komputer sebagai diekstrak dari “penjelasan Pernyataan” dari CCA 1997 :
1. Berusaha untuk membuat suatu pelanggaran hukum bagi setiap orang untuk menyebabkan komputer untuk melakukan apapun fungsi dengan maksud untuk mendapatkan akses tidak sah ke komputer mana materi.
2. Berusaha untuk membuatnya menjadi pelanggaran lebih lanjut jika ada orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam item (a) dengan maksud untuk melakukan penipuan, ketidakjujuran atau menyebabkan cedera seperti yang didefinisikan dalam KUHP Kode.
3. Berusaha untuk membuat suatu pelanggaran bagi setiap orang untuk menyebabkan modifikasi yang tidak sah dari isi dari komputer manapun.
4. Berusaha untuk menyediakan bagi pelanggaran dan hukuman bagi komunikasi yang salah nomor, kode, sandi atau cara lain untuk akses ke komputer.
5. Berusaha untuk membuat undang-undang anggapan bahwa setiap orang memiliki hak asuh atau kontrol apa pun program, data atau informasi lain ketika ia tidak diizinkan untuk memilikinya akan dianggap telah memperoleh akses yang tidak sah kecuali jika dibuktikan sebaliknya
4. Cyber Law Indonesia
Indonesia telah resmi mempunyai undang-undang untuk mengatur orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam dunia maya. Cyber Law-nya Indonesia yaitu undang–undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Di berlakukannya undang-undang ini, membuat oknum-oknum nakal ketakutan karena denda yang diberikan apabila melanggar tidak sedikit kira-kira 1 miliar rupiah karena melanggar pasal 27 ayat 1 tentang muatan yang melanggar kesusilaan. sebenarnya UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak hanya membahas situs porno atau masalah asusila. Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Sebagian orang menolak adanya undang-undang ini, tapi tidak sedikit yang mendukung undang-undang ini.
Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal sebagai berikut :
1. Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
2. Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
3. UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
4. Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
5. Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37).
6. Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan).
7. Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
8. Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti).
9. Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking).
10. Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi).
11. Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia).
12. Pasal 33 (Virus, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS).
13. Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising).
III. ANALISA PEMBAHASAN
1. Ulasan Kasus
Sekitar tahun 2001 terdapat kasus pembobolan kartu kredit tentang transaksi via E-Commerce. Petrus Sangkar pemuda berusia 22 tahun bersama tiga rekannya sesama cracker berhasil membobol lewat internet, Mereka dituduh membeli barang melalui internet secara tidak sah. Pada bulan maret dan April 2001 berhasil membobol kartu kredit orang lain senilai Rp. 5 Milyar, pada akhirnya ditangkap kepolisian Yogyakarta. Kasus pembobolan ini terungkap setelah ada surat dari Departemen Luar negeri dan kepolisian internasional. Menurut surat terdapat nama-nama pembeli barang yang melakukan transaksi menggunakan kartu kredit namun tanpa sepengetahuan pemiliknya, kemudian polisi melakukan pelacakan kebeberapa perusahaan jasa angkutan barang di Yogyakarta, dan akhirnya pelaku ditangkap.
2. Analisa Studi Kasus
Secara garis besar kejahatan - kejahatan yang terjadi terhadap suatu sistem atau jaringan komputer dan yang menggunakan komputer sebagai instrumenta delicti, mutatis mutandis juga dapat terjadi di dunia perbankan. Kegiatan yang potensial menjadi target cybercrime dalam kegiatan perbankan antara lain adalah:
1. Layanan pembayaran menggunakan kartu kredit pada situs-situs took online.
2. Layanan perbankan online (online banking).
Dalam kaitannya dengan cybercrime, maka sudut pandangnya adalah kejahatan Internet yang menjadikan pihak bank, merchant, toko online atau nasabah sebagai korban, yang dapat terjadi karena maksud jahat sesorang yang memiliki kemapuan dibidang teknologi informasi, atau sesorang yang memanfaatkan kelengahan pihak bank, pihak merchant maupun pihak nasabah.
Beberapa bentuk potensi cybercrime dalam kegiatan perbankan antara lain :
1. Typo site : Pelaku membuat nama situs palsu yang sama persis dengan situs asli dan membuat alamat yang mirip dengan situs asli. Pelaku menunggu kesempatan jika ada seorang korban salah mengetikkan alamat dan masuk ke situs palsu buatannya. Alhasil pelaku mendapatkan data tentang username & password yang akan dimanfaatkan untuk merugikan korban.
2. Sniffing : Usaha untuk mendapatkan user ID dan password dengan jalan mengamati paket data yang lewat pada jaringan komputer.
3. Brute Force Attacking : Usaha untuk mendapatkan password atau key dengan mencoba semua kombinasi yang mungkin.
4. Email Spamming : Mengirimkan junk email berupa iklan produk dan sejenisnya pada alamat email.
Kemudahan melakukan transaksi perbankan pada internet mungkin akan sangat membantu bagi para pekerja kantoran, pebisnis, pemerintahan dimana sangat dituntut dalam hal efisiensi waktu. Oleh karena itu pihak tersebut akan bergantung pada sistem online¬-banking namun disisi lain terdapat suatu ancaman yang mungkin akan sangat merugikan pihak pengguna layanan ini.
Sistem layanan kartu kredit dan layanan perbankan online (online banking). Dalam sistem layanan yang pertama, yang perlu diwaspadai adalah tindak kejahatan yang dikenal dengan istilah carding. Prosesnya adalah sebagai berikut, pelaku carding memperoleh data kartu kredit korban secara tidak sah (illegal interception), dan kemudian menggunakan kartu kredit tersebut untuk berbelanja di toko online (forgery). Modus ini dapat terjadi akibat lemahnya sistem authentifikasi yang digunakan dalam memastikan identitas pemesan barang di toko online.
Kegiatan yang kedua yaitu perbankan online (online banking). Modus dengan istilah typosite yang memanfaatkan kelengahan nasabah yang salah mengetikkan alamat bank online yang ingin diaksesnya. Pelakunya sudah menyiapkan situs palsu yang mirip dengan situs asli bank online (forgery). Jika ada nasabah yang salah ketik dan masuk ke situs bank palsu tersebut, maka pelaku akan merekam user ID dan password nasabah tersebut untuk digunakan mengakses ke situs yang sebenarnya (illegal access) dengan maksud untuk merugikan nasabah.
Pembahasan cyber law, tidak dapat lepas dari aspek yang menyangkut isu prosedural, seperti jurisdiksi, pembuktian, penyidikan, kontrak/transaksi elektronik dan tanda tangan digital/elektronik, pornografi, pencurian melalui Internet, perlindungan konsumen, pemanfaatan Internet dalam aktivitas keseharian manusia, seperti e-commerce, e-government, e-tax, e-learning, e-health, dan sebagainya.5 Dengan demikian maka ruang lingkup cyber law sangat luas, tidak hanya semata-mata mencakup aturan yang mengatur tentang kegiatan bisnis yang melibatkan konsumen (consumers), manufaktur dan pedagang perantara yang berbasiskan e-commerce.
Dalam The Model Law on Electronic Commerce yang dikeluarkan oleh the United Nations Commissions on International Trade Law (UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce) diatur beberapa prinsip berkaitan dengan transaksi elektronik, antara lain :
1. Tidak ada perbedaan antara data elektronik dengan dokumen kertas.
2. Suatu data elektronik dapat menggantikan suatu dokumen tertulis.
3. Para pihak dapat melakukan kontrak secara elektronik.
4. Suatu data elektronik merupakan alat bukti yang sah di pengadilan.
5. Jika suatu data elektronik telah diterima oleh para pihak, maka mereka harus bertindak sebagaimana kesepakatan yang terdapat pada data tersebut.
Berikut beberapa aspek penting terkait hukum pidana yang perlu di perjelas lagi antara lain :
1. Tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik, perlu dilakukan pembatasan atau limitasi atas tanggung jawab sehingga tanggung jawab penyelenggara tidak melampaui kewajaran.
2. Seluruh informasi elektronik dan tanda tangan elektronik yang dihasilkan oleh suatu sistem informasi, termasuk print out¬-nya harus dapat menjadi alat bukti di pengadilan.
3. Perlunya aspek perlindungan hukum terhadap bank sentral, dan lembaga perbankan, penerbit kartu kredit/kartu pembayaran dan lembaga keungan lainnya dari kemungkinan adanya gangguan dan ancaman kejahatan elektronik.
1. Tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik, perlu dilakukan pembatasan atau limitasi atas tanggung jawab sehingga tanggung jawab penyelenggara tidak melampaui kewajaran.
2. Seluruh informasi elektronik dan tanda tangan elektronik yang dihasilkan oleh suatu sistem informasi, termasuk print out¬-nya harus dapat menjadi alat bukti di pengadilan.
3. Perlunya aspek perlindungan hukum terhadap bank sentral, dan lembaga perbankan, penerbit kartu kredit/kartu pembayaran dan lembaga keungan lainnya dari kemungkinan adanya gangguan dan ancaman kejahatan elektronik.
IV. PENUTUP
Kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem komputer perlu mendapat perhatian khusus, sebab kejahatan-kejahatan ini memiliki karakter yang berbeda dari kejahatan-kejahatan konvensional. Hambatan-hambatan yang ditemukan dalam upaya melakukan penyidikan terhadap cybercrime antara lain berkaitan dengan masalah perangkat hukum, kemampuan penyidik, alat bukti, dan fasilitas komputer forensik.
Guna mendukung terwujudnya kemudahan sistem transaksi perbankan secara online namun dengan memperhatikan keamanan nasabah, maka kehadiran cyber law adalah hal mutlak. Kehadiran UU yang mengatur Transfer Dana diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam upaya mencegah dan memberantas cybercrime tersebut serta dapat memberikan deterren effect kepada para pelaku cybercrime sehingga akan berpikir jauh untuk melakukan aksinya.
V. DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat Hukum Bank Indonesia. 2006. Jurnal Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan.
2. Lita Sari Marita. 2015. Penerapan Cyber Law Dalam Pemberantasan Cyber Crime Di Indonesia.
3. Fudji Sri Mar’ati. 2011. E-Commerce Dalam Kejahatan Bisnis.